Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Ketika Pengalihan BPN Kepada Pemerintah Aceh “Dimainkan” Pusat

Ketika Pengalihan BPN Kepada Pemerintah Aceh "Dimainkan" Pusat

Rabu, 25 September 2019 23:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM - Ruang rapat komisi II gedung Nusantara DPR RI, hari ini, Rabu (25/9/2019) dihangatkan dengan pembahasan persoalan pengalihan Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada pemerintah Aceh.

Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN, seharusnya pada tahun 2016 sudah mengalihkan persoalan tanah kepada pemerintah Aceh, namun sampai dengan 2019 pengalihan itu belum dilaksanakan.

Jangankan pengalihan asset, tim pengalihan asset saja sampai saat ini belum dibentuk. Padahal Perpres No. 23 tahun 2015 dengan jelas menyebutkan. Sejak Perpres diundangkan, setahun kemudian asset BPN diserahkan kepada pemerintah Aceh.

Dalam Perpres nomor 23 tahun 2015 disebutkan, pasal 17 sampai dengan pasal 19, jangka waktu pengalihan paling lama setahun setelah Perpres diundangkan. Namun sampai saat ini belum dilaksanakan oleh Kementrian ATR/BPN.

Sementara pemerintah Aceh sudah menindak lanjuti Perpes nomor 23 ini, Pemda Aceh sudah menetapkan qanun dan tata ruang tentang STOK. Bahkan pemerintah kota/Kabupaten se Aceh sudah melakukanya. Namun kementrian ATR/BPN "mengabaikan" peraturan presiden.

Jangankan berencana kapan asset BPN itu akan dialihkan kepada pemerintah Aceh, tim pengalihan saja belum dibentuk Menteri ATR/ BPN. Dampaknya persidangan di komisi II DPR RI, berlangsung panas. Menteri mendapat tudingan mengabaikan peraturan presiden.

Tak ayal rapat dikomisi II DPR RI ini bagaikan berbalas pantun. Pihak menteri ATR/BPN, juga tidak mau disebut mengabaikan peraturan presiden. Mereka juga memiliki argemumen tentang mekanisme pengalihan asset itu.

Rapat di komisi II DPR RI, Dialeksis.com mendapat keterangan dari berbagai pihak yang ikut dalam pertemuan ini. Mereka yang hadir dari Aceh baik tim percepatan pengalihan asset, Wali Nanggroe, anggota DPD, tokoh Aceh, semuanya mengingatkan agar pihak kementrian segera merealisasikan Perpres nomor 23 tahun 2015.

Mereka yang turut hadir dalam pertemuan itu; dari tim percepatan pengalihan, Kepala Dinas Pertanahan Aceh, Sekretaris Dinas Pertanahan Aceh. Prof. Jamaluddin, Abdul Manaf Penasehat Gubernur Aceh. Teuku Nasrullah (pengacara).

Aryos Nivada (akademisi), Dr. Farhan Hamid, Prof Farid Wajdi. Hadir juga tokoh Aceh, Muslim (Politikus Demokrat-anggota DPR RI). H. Sudirman alias H. Uma dari DPD, serta Kepala Badan Penghubung Pemerintah Aceh di Jakarta, Almuniza.

Rapat pengalihan asset BPN itu dipimpin DR. Ir. H.E. Herman Khaeron, M.Si, wakil pimpinan komisi II DPR RI, berlangsung hangat. Tim dari Aceh dan pihak yang ingin secepatnya agar asset BPN itu dialihkan ke pemerintah Aceh, mendesak Kementrian ATR agar serius menanggapi Perpres yang sudah dikeluarkan presiden.

Pemerintah Pusat Harus Komit

Rapat semula dijadwalkan pukul 10.00 WIB, namun diundur ke pukul 14.00 WIB, berlangsung hangat. Duta dari Aceh seperti Prof.Dr.Jamaluddin,SH,M.Hum Dekan FH Unimal ( tim percepat pengalihan BPN ke DPA), dalam pertemuan itu dengan tegas mengingatkan pemerintah pusat untuk komitmen.

Konflik Aceh yang cukup panjang, berakhir melalui MoU Helsinki. Dimana salah satu poin penting yang disepekati adalah peralihan bidang penguasaan atas tanah di Aceh, harus diserahkan kewenangannya kepada Pemerintahan Aceh.

Hal ini, sebut Jamaluddin, diakomodir dalam UU RI No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh (UUPA). Artinya pemerintah pusat harus segera mengakhiri wewenang Kanwil BPN di Aceh/BPN di Kab/Kota se Aceh. Tugasnya dialihkan kepada DPA Aceh dan DPA Kab/Kota se Aceh.

Kemudian salah regulasi sebagai aturan pelaksaan UUPA, tambah Jamaluddin, adalah diterbitkan Perpres nomor 23 tahun 2015. Salah satu poin penting perintah Perpres tersebut, Menteri ATR/ BPN harus segera membentuk tim peralihan BPN ke DPA.

Bahkan dalam Perpres itu ditegaskan, satu bulan setelah lahirnya Perpres tersebut harus sudah terbentuk pengalihan. Namun sampai saat ini tim tersebut belum dibentuk oleh kementerian ATR/BPN.

"Ini menjadi pertanyaan dari berbagai komponen masyarakat kepada kami. Kondisi ini menimbulkan ketidak percayaan masyarakat Aceh kepada pemerintah RI. Pertanyaan masyarakat itu telah kami sampaikan dalam pertemuan dengan komisi II DPR RI, pada 25 September 2019," sebut Jamaluddin.

"Pemerintah pusat harus komit dengan apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki . Harus komit dan konsisten melaksanakan UUPA , antara lain komit melaksanakan Perpres No. 23 Tahun 2019. Segera membentuk tim peralihan BPN ke DPA," jelasnya.

"Jangan sampai terkesan Pemerintah RI tidak konsisten terhadap apa yang telah dijanjikan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Komisi II DPR RI selaku rakyat mempunyai tanggung jawab sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi, untuk mengawasi pelaksaan UUPA dan berbagai regulasi lain yang telah diterbitkan untuk percepatan peralihan BPN ke DPA di Aceh," jelas Dekan Unimal ini.

Menurut Jamaluddin, pemerintah pusat jangan lamban menyelesaikan persoalan ini. Jangan sampai persoalan ini akan menodai perdamain Aceh yang sangat susah payah dicapai, kembali menjadi konflik besar lagi.

"Saya sudah kurang beban, setelah saya menyampaikan persoalan ini dalam forum RDP yang terhormat ini. Sudah menjadi tanggung jawab Komisi II DPR RI utk mempercepat kerja pemerintah ini," jelasnya.

Wali Nanggroe, Malik Mahmud, juga menyampaikan kekecewaanya kepada pemerintah pusat, kepada Menteri ATR/BPN, karena tidak merealisasikan Peppres nomor 23 tahun 2015.

"Hak masyarakat Aceh untuk mendapatkan pengalihan asset BPN ke DPA di Aceh, jangan sampai memunculkan konflik yang berkepanjangan lagi. Intruksi presiden harus dijalankan oleh menteri Agraria. Jangan terkesan pemerintah pusat masih tidak ikhlas menyelesaikan urusan yang harus direalisasikan berdasarkan regulasi dan peraturan yang mengaturnya," sebut Wali Nanggroe.

Penekanan dengan nada tegas disampaikan Teuku Nasrullah, salah satu tim percepatan pengalihan Kanwil BPN menjadi perangkat daerah. Menurut pengacara ini, jika Perpres 23 tahun 2015 tidak dijalankan, kesannya presiden salah dalam mengeluarkan kebijakan tersebut.

"Jangan sampai publik menilai ada pembangkangan dari kementerian Agraria tata ruang/BPN terhadap kebijakan presiden," sebut Nasrullah.

Kepala Dinas Pertanahan Aceh, Dr. Edi Yandra SSTP, MSP, yang mewakili Plt Gubernur Aceh, meminta Komisi II DPR mendorong agar Kementerian ATR/BPN untuk segera melakukan pengalihan Kanwil Badan Pertanahan Nasional menjadi Badan Pertanahan Aceh, sesuai dengan perintah UU Pemerintahan Aceh.

"Pemerintah Aceh juga meminta agar Perpres No 23/2015 dilakukan revisi agar isinya disesuaikan dengan UU Pemerintah Aceh atau UU Nomor11 Tahun 2006," sebut Edi.

Edi Yandra menambahkan, dalam proses pengalihan, personil pembiayaan, peralatan dan dokumen PD3, pemerintahan Aceh melalui dinas pertanahan, pihaknya akan menyiapkan SDM pertanahan melalui MoU antara pemerintahan Aceh dengan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta.

"Kita berharap setelah penggabungan ini terjadi dan terimplementasi SDM dari BPN, Pemerintah Aceh dapat melaksanakan segala urusan pertanahan yang lebih baik untuk Aceh," sebutnya.

Tim Pengalihan Asset

Apa sebenarnya yang menjadi kendala bagi kementrian ATR/BPN, sehingga pihaknya bagaikan mengabaikan Perpres untuk pengalihan asset BPN menjadi urusan pemerintah Aceh.

Menurut Sekjen Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN, Himawan Arief Sugoto, proses penyerahan kewenangan tidak semudah yang dibayangkan.Dibutuhkan pemetaan geospasial, penataan konsep harus jelas, tidak bisa diparsialkan jika tidak over laping dan memunculkan masalah lagi.

Belum lagi persoalan dana yang dibutuhkan. Untuk operasional kantor dibutuhkan anggaran mencapai 186 miliyar. Total keseluruhan anggaran mencapai Rp 650 miliar, sementara penerimaan hanya sebesar Rp 16 miliar.

Dalam kesempatan pertemuan itu, Dirjen Otonomi Daerah,Drs. Akmal Malik, M.Si, menyatakan pihaknya siap memfasilitasi dan mempercepat perlimpahan kewenangan BPN ke DPN, melalui instruksi Keppres 23 tahun 2015.

Sementara DR. Ir. H.E. Herman Khaeron MSi, yang memimpin rapat, menyebutkan solusi dari mandeknya Perpres nomor 23 tahun 2015, karena tim pengalihan asset tidak pernah dibentuk.

"Tim harus segara dibentuk, jangan berlarut larut, agar pengalihan aseet BPN dan kantor Pertanahan menjadi perangkat daerah di Aceh. Harus dibentuk tim terlebih dahulu," sebut Herman.

Nantinya, tambah Herman, tim akan membahas perihal transisi pengalihan, beserta pembagian peran dan kewenangan. Intinya harus duduk satu meja membahas secara detail. Kalau sudah terbentuk tim pengalihan otomatis akan terbahas semuanya.

"Kunci keberhasilan realisasi Keppres 23 tahun 2015 terletak pada komunikasi yang sinergis, terbuka, dan harmonis," sebut wakil ketua komisi II DPR RI.

Komisi II DPR RI dalam pertemuan itu menyebutkan, pihaknya akan mengirim surat ke presiden, untuk mengingatkan kembali tentang Perpres nomor 23 tahun 2015, dimana Perpres itu tidak dijalankan oleh Menteri ATR/BPN.

Perpres sudah dikeluarkan sejak 2015, namun sampai dengan September 2019, tim pengalihan saja belum dibentuk. Bila tim saja belum dibentuk, lantas kapan pengalihan asset BPN dapat dikelola oleh pemerintah Aceh?

Apakah nantinya, setelah komisi II DPR RI mengirimkan surat ke presiden yang mengingatkan akan kelalaian Menteri ATR/BPN dalam mengurus pengalihan BPN Aceh, apakah presiden akan mengingatkan menterinya untuk tidak main main dalam menjalankan Perpres?

Persoalan asset BPN yang akan dialihkan untuk dikelola pemerintah Aceh, komisi II DPR RI akan mengingatkan presiden tentang Perpres yang sudah dikeluarkanya. Apakah perjalan panjang yang sudah empat tahun sejak Perpres itu dikeluarkan, akan semakin rumit lagi persoalanya?

Bila surat komisi II DPR RI ditanggapi serius oleh presiden, tentunya Perpres yang sudah dikeluarkanya pada tahun 2015 akan kembali "menyegarkan" memori Kementrian ATR/BPN, bahwa mereka "lalai" dalam menjalan Perpres. Bagaimana ahirnya kisah ini, kita ikuti saja, apalagi goresan sejarah selanjutnya. ( Bahtiar Gayo)



Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda